Pages

Sunday, May 11, 2014

Pemilu Indonesia dalam Perpektif Huang Tsung Tsi

1.      Biografi Huang Tsung Hsi dan Pemikirannya
            Huang Tsung - hsi (1610-1695) adalah seorang sarjana Cina dan filsuf politik yang berusaha  memberikan kerangka filosofis untuk membuka pandangan baru untuk mengembalikan moralitas dan keadilan politik Cina. Huang Tsung Tsi adalah putra Huang Tsun Su. seorang pejabat terkemuka di Peking dan anggota dari Timur Grove Society ( Tung - lin ) , yang menentang kegiatan rakus Wei Chung  Hsien. seorang penguasa yang kuat dan bermoral yang berhasil mendominasi kaisar muda. Kelompok Tung lin menganjurkan supaya kembali ke moralitas politik , dan mereka sering mengadakan pertemuan rahasia di rumah Huang untuk membahas masalah-masalah politik dan strategi.


            Pada tahun 1625 Huang Tsun Su dipecat dari kantor dan dibunuh di penjara pada tahun berikutnya karena mengkritik Wei Chung Hsien . Huang Tsung Hsi bertekad untuk membalas kematian ayahnya dengan membunuh para pejabat yang terlibat. Tetapi sebelum dia melakukan balas dendam yang direncanakan, Wei Chung - hsien bunuh diri .

            Sementara masih dalam masa mudanya Huang mengembangkan minat dalam sejarah dan sastra. kemudian hal ini diperkuat dengan oleh pernikahannya dengan putri seorang penulis dan dramawan terkenal. Tapi sampai 1649 peran utama Huang adalah kritikus politik dan aktivis . Pada 1630-an ia telah bergabung dengan Fu Dia ,

Melawan Manchu

            Meskipun terus mengkritik, Huang tetap setia kepada dinasti Ming dan marah oleh Manchu penaklukan Cina pada 1644 . Seperti banyak sarjana berbakat lainnya pada zamannya , Huang menghabiskan sebagian besar tahun 1640-an yang terlibat dalam gerakan perlawanan anti Manchu yang berpusat pada berbagai keturunan rumah kekaisaran Ming di Cina Selatan . Huang mencapai jabatan politik yang sangat tinggi dalam penyelenggaraan tahta dinasti Ming yang jatuh. Tetapi penyebabnya itu sia-sia , dan Huang Tsung Hsi pensiun dari kegiatan politik dan militer tahun 1649 .

            Mulai 1649 sampai kematiannya pada tahun 1695, Huang menolak untuk menerima pelayanan di bawah Manchu , Dinasti Qing , dan bukannya mengikuti jalan beberapa dari rekan-rekannya dalam memilih mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan. Bahkan pada tahun 1679, ketika kaisar K'ang Hsi menawarinya kesempatan untuk bersaing dalam pemeriksaan khusus untuk membantu menyusun sejarah resmi Dinasti Ming. Huang menolak untuk menerima. Kecuali untuk kunjungan ke sejumlah kota penting, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di provinsi pesisir Chekiang .

Pendidikan dan Filsafat Politik

            Tulisan Huang dicirikan oleh luasnya minat dan konten sistematis dan faktual. Huang memiliki minat yang mendalam dalam klasik Cina dan menulis banyak analisis kritis yang berhubungan dengan periode-periode sebelumnya dalam filsafat Cina. Di antaranya beberapa karya kritik adalah miliknya Ming Ju Hsueh An yang berjudul (Catatan Konfusianisme Pemikiran di Periode Ming), prestasi multi volume yang monumental , yang merupakan salah satu upaya komprehensif pertama pada analisis sistematis dari suatu periode dalam sejarah intelektual . Sebagai sejarawan , Huang dikenal sebagai pendiri sekolah Chekiang Timur. Ia menganjurkan penafsiran umum serta tujuan penelitian. Ia memiliki pengaruh besar pada sejarawan cina berikutnya. Ia menulis beberapa karya sejarah dan menghabiskan banyak upaya pada sejarah rezim loyalis Ming yang tumbuh setelah penaklukan Manchu . Huang juga tertarik pada sastra dan menyusun beberapa antologi , serta menulis prosa dan puisi sendiri.
            Karya paling terkenal Huang Tsung Hsi adalah “lu Ming  i tai  fang” (1662 ; Rencana untuk Pangeran). Dalam buku ini ia mengembangkan filsafat politiknya dengan membuat tidak hanya sejumlah tempat umum, tetapi juga menyarankan reformasi praktis . Dia sangat terganggu oleh sifat pemerintah dan masyarakat China selama akhir Ming dan Qing periode awal, dan ia menulis risalah ini dengan harapan bahwa beberapa rezim nantinya akan melaksanakan rekomendasi-nya . Seperti filsuf Cina kuno Mencius , Huang berpendapat bahwa pemerintah harus mempromosikan kebahagiaan rakyat. Karena raja adalah tamu bukan yang punya rumah.
            Merasa bahwa pemerintah kekaisaran telah menjadi terlalu otokratis. Huang mendesak kaisar untuk menempatkan tanggung jawab lebih di tangan menteri mereka dan untuk merevisi kode hukum untuk kepentingan masyarakat umum. Reformasi yang diusulkannya dalam beberapa hal sangat mirip dengan mereka yang besar abad ke-11 negarawan Wang An Shih. Sebuah sistem pendidikan universal publik harus ditetapkan dalam rangka untuk memperluas bakat di kekaisaran.
            Pemeriksaan pelayanan publik harus lebih berkonsentrasi pada urusan kontemporer dan semua tanah harus dimiliki secara umum dan didistribusikan oleh pemerintah atas dasar kebutuhan. Meskipun Huang pasti tidak menyarankan pemerintahan yang demokratis, ia mencoba untuk memberikan pedoman yang lebih adil bagi kekaisaran Cina . Sebagai orang berbakat yang luar biasa dan penuh dedikasi terhadap negara, Huang layak untuk dikenang sebagai sosok yang luar biasa di tahun-tahun akhir filsafat tradisional Cina.

2.      Sejarah pemilu indonesia
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
            Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilihan umum diadakan sebanyak 11 kali yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014. Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
            Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional IndonesiaMasyumiNahdlatul UlamaPartai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pemilu 1971
            Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan KaryaNahdlatul UlamaParmusiPartai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.
Pemilu 1977-1997
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
Pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia PerjuanganPartai GolkarPartai Persatuan PembangunanPartai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen).
            yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
Pemilu 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilu 2009
            Pemilihan ini untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2009 atau Pileg 2009) diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014.
            Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian diundur). 38 partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
            Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 (biasa disingkat Pilpres 2009) diselenggarakan untuk memilih Presiden danWakil Presiden Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

3.      pemilu Pemilu 2014
            Pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD Indonesia 2014 diselenggarakan pada 9 April 2014 secara serentak di Indonesia. Ini akan menjadi pemilihan umum anggota DPRDPD, dan DPRD langsung ketiga di Indonesia. Pemilihan ini dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 serentak di seluruh Indonesia. Namun untuk pemilih di luar negri, hari pemilihan ditetapkan oleh panitia pemilihan setempat antara tanggal 5 atau 6 April 2014 di masing-masing negara domisili pemilih. Pemilihan di luar negeri hanya terbatas untuk anggota DPR di daerah pemilihan DKI Jakarta II, dan tidak ada pemilihan anggota perwakilan daerah.
Peserta
            Pada tanggal 7 September 2012Komisi Pemilihan Umum mengumumkan daftar 46 partai politik yang telah mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu 2014, dimana beberapa partai diantaranya merupakan partai politik yang baru pertama kali mengikuti pemilu ataupun baru mengganti namanya. 9 partai lainnya merupakan peserta Pemilu 2009 yang berhasil mendapatkan kursi di DPR periode 2009-2014. Pada tanggal 10 September 2012, KPU meloloskan 34 partai yang memenuhi syarat pendaftaran minimal 17 buah dokumen. 
            Selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2012, KPU mengumumkan 16 partai yang lolos verifikasi administrasi dan akan menjalani verifikasi faktual. Pada perkembangannya, sesuai dengan keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum, verifikasi faktual juga dilakukan terhadap 18 partai yang tidak lolos verifikasi administrasi. Hasil dari verifikasi faktual ini ditetapkan pada tanggal 8 Januari 2013, dimana KPU mengumumkan 10 partai sebagai peserta Pemilu 2014
4.      Pemikiran Huang tsung dikaitkan dengan pemilu 2014
            Pemikiran Huang Tsung Tsi kebanyakan berkenaan dengan politik, sejarah, dan seni. Ketiga-tiganya ia gunakan untuk menggali nilai-nilai filsafat china neo konfucius. Ia beranggapan bahwa rakyat adalah tuan rumah, sedangkan raja adalah tamu. Maka dari itu pemilu harus dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang memilih dan megawasi selama proses pemilihan umum. Perkembangan konsep-konsep mengenai pemilu terus berubah sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat.
            Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
            Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

5.      Kesimpulan
            Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Kedemokratisan negara indonesia tercermin di dalam pelaksanaan pemilu. Satiap warga mempunyai hak untuk menentukan hak pilihnya.  Hal ini sama dengan penikiran filsuf china, yaitu Huang Tsung tsi. Ia mengemukakan bahwa rakyat adalah tuan rumah yang berhak mengatur kebijakan kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Sedangkan raja adalah tamu yang harus di pilih untuk dijadikan perwakilan untuk mengurusi kepentingan rakyat.
            Nilai-nilai demokratis yang diterapkan bangsa indonesia sudah tercermin secara hirarkhis di dalam pancasila, terutama dalam sila keempat. Demokratis adalah sebuah kata yang terus mengalami perubahan menurut kebudayaan yang dialami bangsa.
Demokratis pancasila harus menjadi pedoman bernegara, termasuk pemilu. Karena pemilu adalah wujud nyata dari demokrasi.
Sumber :
1.      Lan, Yu, Fung, 2007, sejarah filsafat cina, Pustaka pelajar, yogyakarta.
2.      http://biography.yourdictionary.com/huang-tsung-hsi, diunduh 10 mei 2014, 08.00.
3.      http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Indonesia_2009, diunduh 10 mei 2014, 08.00.
4.      http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia, diunduh 10 mei 2014, 08.00.




No comments:

Post a Comment