Alam
Pikiran Mitis
A . Mitos sebagai bakat manusiawi
Dunia mitis meliputi kebudayaan primitif. Primitif adalah peradaban yang sangat sederhana, belum maju atau kebudayaan kuno dan tidak modern (kbbi). Istilah “primitif” yang terdapat dalam buku-buku yang telah dikarang oleh para antropologi kebudayaan sebetulnya tidak tepat. Karena dunia yang ditemukan dalam buku-buku tersebut ternyata serba baru, kaya akan cerita-cerita yang mengandung suatu filsafat yang dalam, gambaran-gambaran yang ajaib, dan adat istiadat yang beraneka warna. Yang ditampilkan disini ialah manusia-manusia yang langsung berhubungan dengan daya alam yang serba rahasia.
Rasa kagum dari zaman romantik memandang manusia primitif sebagai manusia purba yang hidupnya masih dekat dengan alam dan masih murni, belum disentuh oleh akses-akses peradaban dan teknik modern. Orang primitif masih berjiwa sederhana seperti kanak-kanak, masyarakatnya belum mengenal permasalahan yang memusingkan manusia modern, dan dunia mereka penuh dengan dunia gaib diliputi rahasia dan sangat interesan. Tetapi kalau kita selidiki lebih mendalam, masyarakat primitif mempunyai susunan yang berbelit-belit, kaidah-kaidah yang kuat. Maka jelaslah bahwa mitos-mitos bukan dongeng-dongeng, melainkan buku pedoman bagaimana hidup ini dijalani.
Sikap rasionalis yang memandang rendah terhadap kebudayaan mitis, seolah-olah alam pikiran mitis itu primitif, tidak ilmiah. Sarjana prancis, Lévy Bruhl pernah memakai istilah “mentalitas primitif” yang menyebut alam pikiran primitif adalah pikiran pra-logis. Tetapi sarjana tersebut menarik kembali pendapatnya, dan ia mengatakan bahwa alam pikiran primitif itu memang berbeda dengan pemikiran kita. Namun akhirnya , dalam setiap bahasa manusia dan semua pola sosial mempunyai garis-garis yang sama, susunan logis yang sama.
Kedua salah paham tadi, pandangan romantis dan pendapat rasionalistis, tidak dapat mengerti bahwa dalam dunia mitis nampaklah suatu sifat manusiawi yang umum. Meskipun bentuk kebudayaan dan pemanfaatan barang-barang dari dunia kita, namun dalam mitos pun kita menyaksikan bagaimana manusia menyusun strategi, mengatur daya-daya kekuatan antara alam dan manusia. Kebudayaan yang satu tidak lebih tinggi derajatnya daripada kebudayaan lain. Kita memang berpendapat bahwa kebudayaan primitif bersifat kekanak-kanakan, tetapi ada orang-orang primitif yang menilai sikap manusia modern serba kekanak-kanakan, karena kita selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan bila sesuatu diterangkan kepada kita, demikian pendapat Lévy strauss. Seorang penyelidik margaret mead, justru ingin menerapkan hasil riset kebudayaan primitif terhadap kebudayaan modern. Dalam semua riset itu, dunia mitis tidak hanya nampak sebagai tanah asal-usul kita, melainkan juga sebagai teman seperjalanan dalam menjalani kebudayaan kita sendiri.
B. Fungsi mitos
Mitos ialah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan
arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat diungkapkan lewat
tari-tarian atau pementasan wayang. Fungsi mitos yang pertama adalah
menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Fungsi kedua adalah
memberi jaminan pada masa kini. Fungsi yang ketiga adalah memberi pengetahuan
tentang dunia. Inti sikap hidup mitis adalah bahwa kehidupan ini ada, ajaib,
berkuasa dan penuh kekuataan. Dan bersama dengan kesadaran tersebut timbullah
cerita-cerita mitos beserta perbuatan yang menjamin kehidupan manusia dan
kebertalian dengan sukunya. Bahkan kepemimpinan dan kerukunan dalam suku itu
berdiri atas dasar mitos-mitos.
C. Manusia dan dunia
Dalam lingkup hidup mitologis tiada garis pemisah yang
jelas antara manusia dan dunia, antara subyek dan obyek. Dalam tahap ini
manusia belum bisa dinamakan subyek sepenuhnya, karena manusia masih merupakan
lingkaran terbuka, belum mempunyai eksistensi yang bulat. Manusia diresapi
pengaruh-pengaruh dari sukunya dan dari alam raya.
Belum kelihatan pemisah antara garis dunia batin dan
dunia luar. Orang primitif belum mempunyai pengertian modern mengenai jiwanya
sebagai sesuatu yang merupakan miliknya sendiri dan dasar identitasnya sebagai
manusia yang berpribadi. Dari lain pihak batas-batas badan pun tidak jelas.
Akar-akar atau tali rotan dianggap sebagai lanjutan dari ususnya sendiri, alam
dihayati sebagai sesuatu dari diri kita sendiri. Perasaan manusia primitif
hanya ada satu dunia organis yang hidup.
Manusia dan alam saling meresapi, dan oleh karena itu
kekuatan manusia dan ilahi juga saling terlebur. Tokoh-tokoh dari alam dewata
juga menampakkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Mereka mewujudkan
norma-norma untuk menilai kelakuannya sendiri. Mereka mengejahwentahkan
nilai-nilai transeden yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat.
Nilai-nilai dan norma-norma seolah-olah merupakan lalu
lintas yang mengatur masyarakat. Bagi suatu masyarakat primitif terutama
saat-saat kelahiran, inisiasi, perkawinan dan kematian merupakan persimpangan
lalu lintas dimana mitos-mitos kuno menjalankan fungsinya. Dalam masyarakat
primitif nilai-nilai tidak akan berubah dengan cepat seperti dalam masyarakat
modern. Mentalitas modern terarah kepada kemajuan, perubahan, hari depan,
sedangkan penghayatan mitis lebih menoleh ke belakang, ke masa silam yang yang
terselubung oleh mitos-mitos.
D. magis
Dalam kehidupan manusia primitif, magis memainkan peranan
besar. Praktek-praktek magis dalam sudut tertentu dapat disamakan dengan
asuransi jiwa dalam masyarakat modern. Mitos lebih bersifat transeden, magis
lebih bersifat imanen. Atau lebih sederhana: mitos lebih mirip dengan pujaan
religius, sedangkan magis lebih condong menguasai sesuatu lewat beberapa
kepandaian. Magis dipergunakan untuk menangkis mara bahaya, mempengaruhi
daya-daya kekuatan alam, menguasai orang-orang lain sampai membunuh orang lain
dengan cara-cara tertentu.
Banyak ahli diantaranya G Van der Leeuw dan J. Wach,
membedakan antara religi dan magis: dalam religi manusia ingin mengabdi, dalam
magis manusia ingin menguasai. Mereka menjelaskan dalam mitomenys-mitos
daya-daya kehidupan dikembangkan, terutama diwujudkan lewat pertalian dengan
suku, totem. Kecenderungan ini dapat menuju ke sikap angkuh dan sombong. Bila
sikap magis menang, maka lambang-lambang mitologis, nilai-nilai beserta
dewa-dewa hampir direndahkan,, dijadikan catatan kaki yang menyertai
upacara-upacara magis.
Tata upacara telah menjadi tujuan utama. Dan ini pada
gilirannya menunjang kekuasaan para imam, karena hanya merekalah yang mampu
melaksanakan upacara berbelit-belit sampai segala detailnya. Dan dengan
demikianlah martabat imam diwariskan secara turun temurun danakhir menjadi
kasta tersendiri.
Alam
Pikiran Ontologis
A. Ontologis
sebagai pembebasan
Alam
pikiran ontologis manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang
mengitarinya. Ia tak begitu terkurung lagi, kadang-kadang ia menjadi penonton
terhadap hidupnya sendiri. Dengan demikian ia berusaha memperoleh pengertian
mengenai daya-daya kekuatan yang menggerakkan alam dan manusia. Perbuatan
praktis dan kesenian memainkan perananya, tetapi renungan-renungan teoritis
mengenai alam yang tidak nampak (metafisika) mulai tampil ke muka. Fase ini
terkenal dengan perkembangan dari mitos ke logos.
Merenungkan
barang-barang, peristiwa-peristiwa, suka duka manusia dan masyarakatnya juga
dapat dinamakan: renungan tentang ada. Ada yang meliputi segala sesuatu sejak
dahulu kala merupakan sasaran bagi setiap pengertian filsafat dan akhirya
memuncak dalam suatu ilmu mengenai ada itu atau ontologi. Merenugkan tentang
ada itu mengakibatkan pembebasan. Dari pelbagai segi alam pikiran barat berbeda
dengan alam pikiran timur. Namun, pada umumnya, alam pikiran timur lebih
condong meleburkan segala sesuatu, termasuk individu manusia, di dalam yang
mutlak yang tak terungkap. Alam pikiran barat mempunyai ciri khas tersendiri
yaitu tempat munculnya ilmu pengetahuan dan teknik.
Segala
perubahan menuntut manusia untuk dari manusia, agar dia mengambil sikap yang
serba barudan segar terhadap dunia ini, dunia yang dikenalnya sejak dulu kala,
namun tetap penuh rahasia. Tuntutan ini terutama diajukan terhadap daya
pikirnya. Bukankah manusia harus menempatkan diri berhadapan dengan dan lepas
sari segala peristiwa, agar dengan demikian dia dapat meninjau semua itu, lalu
membuat petanya? Sikap yang baru itu kita namakan alam pikiran ontologis. Alam
pikiran seperti ini membebaskan manusia dari lingkaran mitologis. Alam pikiran
ontologis berani hidup dalam ketegangan jarak dengan mitologis.
B. Fungsi-fungsi
pemikiran ontologis
Fungsi
pertama adalah membuat suatu peta mengenai segala sesuatu yang mengatasi
manusia. Jalan yang menuju ke pengertian selalu dipandang sebagai sesuatu
pengabdian terhadap masyarakat dan sebagai cara yang tepat untuk menghormati
dan mengakui para dewa di kemudian hari pengertian itu bahkan akan menghasilkan
bukti-bukti mengenai adanya tuhan. Baik persamaan dan perbedaan dengan alam
pikiran mitis kini menjadi makin jelas. Kedua-duanya menghubungkan dunia ini
dengan dunia sana, dalam keduanya mitos dan ontologis mengatur hubungan antara
manusia dan daya-daya kekuatan sekitarnya.
Fungsi
kedua adalah menjamin mengenai hari ini, kita jumpai pula dalam sikap
ontologis. Proses yang terjadi dalamalam raya dan dalam hidup manusia mulai
diterangkan dengan bertitik pangkal pada hukum-hukum abadi. Fungsi ketiga ialah
menyajikan pengetahuan. Mitos pun memberikan sedikit pengetahuan mengenai hal
ikhwal dunia ini, tetapi sikap ontologis terutama menonjolkan pengetahuan
sistematis yang dapat dikontrol. Sekalipun persoalan-persoalan yang mereka
ajukan tidak mudah (mengenai idea-idea, sebab musabab, metefisika, keterangan
logis) namun cara berpikir ini tetap mempengaruhi manusia modern.
C. Manusia
dan dunia
Dalam
dunia mitis manusia individuil belum mempunyai suatu identitas sendiri. Ia
dikuasai oleh daya-daya pertalian dengan alam sekitarnya. Ia disebut menurut
nama-nama yang diasalkan dari seorang kepala marga atau dari binatang pelindung
marga. Dalam dunia mitis manusia masih dapat mengatakan bahwa jiwanya sedang
merantau di luar badannya dan berdiam dalam pohon para leluhur.
Dalam
tahap ontologis manusia juga mulai menanyakan tentang “apa” nya para dewa itu.
Maunsia tidak lagi terpukau dengan pengalaman yang mengetarkan, bahwa ada
sesuatu yang tak terungkap. Pembaharu-pembaharu dalam masyarakat dapat terjadi
lebih cepat lagi bila nilai-nilai itu telah dirumuskan dengan cermat.
Rumus-rumus dapat dibicarakan, diperdebatkan dan kalau perlu dirubah.
Nilai-nilai disusun menurut suatu skala dari yang paling tinggi sampai ke yang
paling rendah.
D. Substansialisme
Dalam
alam pikiran mitis manusai terpukau oleh kenyataan bahwa sesuatu itu ada,
sedangkan dalam sikap ontologis yang dipentingkan adalah “apa” nya. Dalam
keadaan pertama subyek dan obyek, manusia dan dunia, saling meresapi
(partisipasi). Dalam tahap kedua manusia ambil jarak terhadap manusia dengan
dunia (distansi). Susbtansi sendiri berarti sesuatu yang dapat berdiri sendiri,
yang mempunyai landasan sendiri dan tidak perlu bersandar kepada sesuatu
diluarnya. Substansialisme dimaksudkan sikap yang sungguh mau menenmpatkan
sesuatu lepas dari sesuatu yang lain.
Substansialisme
mempunyai efek yang membekukan. Dalam agama dan filsafat patokan-patokanmenjadi
beku. Tata negara dan perbuatan-perbuatan moril diikat oleh hukum-hukum abadi.
Manuia di pakukan dengan rumus-rumus yang pernah ditelurkan oleh ilmu
pengetahuan pada zaman tertentu. Cara berpikir ontologis sebenarnya merupakan
suatu cara tertentu dalam bidang permenungan, perbuatan, kemauan, perasaan,
organisasi, pertukangandan penentuan policy. Dalam alam pikiran
substansialistik telah nampak peralihan ke suatu tahap kebudayaan baru.
Peralihan ke arah suatu bentuk pembebasan baru.
Pemikiran
Fungsionil
A. Peralihan
ke arah pemikiran fungsionil
Pemikiran
fungsionil menyangkut hubungan, peraturan dan relasi. Sebetulnya alam pikiran
manusai selalu mengandung aspek-aspek fungsionil, apalagi bila cara berpikir
tersebut dapat memperlancar perbuatan dan pola perbuatan manusia. Istilah
“fungsionil” lalu dapat dijadikan sarana untuk meringkas dan menjelaskan sejumlah
gejala modern. Dan yang diharapkan adalah agar kita semakin menyadari
pergeseran-peergeseran yang kita alami.
Alam
pikiran fungsionil dapat dipandang sebagai suatu pembebasan. Istilah piikiran
disini sebetulnya terlalu sempit, karena alam pikiran ini meliputi baik teori
maupun praktek, perbuatan dan karya artistik, pekerjaan dan keputusan-keputusan
politis. Sesuatu mungkin dapat dimengerti melalui akal budi, tetapi tidak
diselami dengan perasaan, lalu ditolak, barang atau orang itu tidak berbekas
dalam hati kita dan tidak mempunyai arti bagi kita. Bukan jalan-jalan
tradisionil yang mendorong kita untuk mengambil suatu keputusan etis, melainkan
justru situasi-situasi yang serba baru dan tak terduga.
B. Beberapa
aspek dalam pikiran fungsional
Aspek
pikiran fungsionil adalah bagaimana memberi dasar kepada masa kini dan bagaiman
peranan pengetahuan dalam berkehidupan. Arti sesuatu adalah cara sesuatu itu
dialami dan diintegrasikan dalam hidup kita. Memahami arti dan makna sesuatu
berarti, bahwa arti tersebut dapat dinyatakan dalam praktek.
C. Manusia
dan dunia
Dalam
dunia mitis manusai belum merupakan seorang pribadi yang bulat dan utuh. Dalam
pikiran ontologis subyek dan obyek, manusia dan dunia, mulai berhadapan muka.
Tetapi dalam pendekatan fungsionil bukan distansi yang diutamakan, melainkan
relasi. Dan dengan demikian lenyaplah juga pemisah ketat antara dunia luar dan
dunia batin dalam diri manusia.
Kehidupan
rohani kita bukan lagi sesuatu yang semata-mata milik pribadi kita, lepas dari
dunia luar dan orang-orang lain. Dslsm tshsp ini nsmpsk dengsn jelas, bahwa
kebudayaan bukanlah sebuah kata benda, melainkan sebuah kata kerja. Bertalian
dengan ini semuanya nilai-nilai memperoleh suatu fungsi baru. Nilai-nilai lama
menjadi usang nilai baru menampilkan diri. Di negara-negara berkembang
soal-soal serupa misalnya hasrat untuk memperluas kekuasaan, kecondongan untuk
berkorupsi. Di negara-negara industri misalnya konsumsi semakin tinggi,
memperpanjang umur hidup dan pengisian waktu luang secara birokratis.
D. Faham
operasionalisme
Sekalipun
peralihan dari alam pikiran ontologisme ke alam pikiran fungsionil masih sedang
berlangsung, namun suatu segi negatif dari pikiran fungsionil sudah mulai
nampak, seperti faham operasionalisme. Operasionalisme merupaka pendekatan
melalui kata “bagaimana” kata ini bisa menjadi alat pribadi yang mementingkan
keinginan sendiri. Gejala operasionalisme yaitu suatu bahaya yang melampaui
batas-batas yang merongrong sesuatu.
Berdampingan
dengan istilah operasionalisme kita jumpai pula istilah operasinil. Istilah
operasinil tidak ada hubungannya dengan operasinilitas, karena operasionalis disiapkan
untuk dipakai, untuk diikut sertakan dalam suatu proses produksi. Dalam istilah
ilmu pengetahuan dikenal istilah “deskripsi operasionil”: yang dimaksudkan
adalah bagaimana sebuah konsep tersusun berdasarkan cara-cara pengukuran tertentu
beserta operasi-operasi mana yang dipergunakan.
Sikap
operasionalistis sangat mempengaruhi hidup sehari-hari. Salah satu pertanyaan
yang kita hadapi adalah sejauh manakah pendekatan fungsionil yang terbuka itu
membuka pintu bagi benih perhitungan, manipulasi, mengurung diri. Alam pikiran
mitis tidak dengan sendirinya, secara otomatis, melaksanakan suatu perubahan.
Operasionalisme selalu membayangi pikiran fungsionil bagaikan suara hati yang
gelisah. Secara fungsionil kita baru menjadi seorang pribadi, bila kita terbuka
untuk sesuatu yang lain atau seorang yang lain. Maka dari itu sikap fungsionil
lebih menunjukkan suatu tanggung jawab daripada suatu tahap yang telah tercapai.
Daftar Pustaka: Peursen, Van, C.A. Dr. Prof. 2013, Strategi Kebudayaan, kanisius,
yogyakarta.
No comments:
Post a Comment