1.
Permasalahan
Aksiologi dalam Kehidupan Sehari-hari
Tidak ada diskusi atau
perbedaan pendapat berkaitan dengan prilaku seseorang, keluwesan seorang gadis,
keadilan sebuah hukuman, atau kelezatan makanan. Bila dua orang tidak
sependapat mengenai makanan dan minuman yang nikmat atau tidak nikmat, dan
mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan
penyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau
tidak menyenangi hal itu. Dan tidak ada seorang
pun yang mampu meyakinkan lawan bicaranya. Peribahasa latin mengatakan:
selera tidak dapat diperdebatkan (de
gustibus non disputandum). Peribahasa ini dapat mengakhiri sebuah argumen,
baik yang biasa maupun yang berat, namun tidak menyelesaikan persoalan yang
mendasari diskusi tersebut.
Orang yang mendukung tesis ini ingin
menunjukkan satu ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari
penilaian pribadi. Betul, Kita tidak ingin melepaskan keintiman ini, karena jika
kita melepaskannya, sebuah catatan yang penting mengenai kenikmatan estetik
akan hilang. Bagaimana seseorang dapat meyakinkan kita dengan silogisme dan
banyak kutipan yang disitir bila kenikmatan yang kita rasakan sedemikian
tiba-tiba dan langsung sehingga tidak memungkinkan terjadinya kesalahan?.
Sekalipun demikian, jika seseorang
bersembunyi dalam perlindungan dengan berpegang teguh pada subjekivis, dan
berusaha untuk berkepala dingin sekalipun kenyataan hatinya tidak tenang, dia
harus segera menemukan bahwa ajaran ini sama sekali tidak dapat memuaskan kita.
Apa yang akan menjadi dunia etis dan estetis jika kita menerima subjektivitas
selera, masing-masing di antara kita patuh pada cara melihat segala sesuatu
yang kita miliki? Bagaimana kekacauan dapat dihindarkan jika tidak ada patokan
nilai, norma prilaku? Estetika dan pendidikan moral akan menjadi mustahil,
hidup santun tidak akan terpahami, penyesalan dosa akan nampak absurd. Konflik
ini merupakan persoalan yang sangat mengelitik bagi aksiologi kontemporer.
2.
Hierarkhi Nilai
Objek bernilai dapat berupa
hal yang materiil,immateriil dan non immaterial. Objek bernilai didalamnya
terkandung kualitas primer, sekunder, dan tersier. Dikatakan primer apabila
eksistensi objek terdiri panjang dan berat. Kualitas dasar tidak menambah atau
member eksistensi. Dikatakan sekunder apabila adanya menyertai dan dapat
ditagkap oleh panca indera. Dikatakan tersier apabila kualitas yang tidak riil
dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera.
Ketiga kualitas tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, hal ini dinamakan
Gestalt. Kualitas ini realitasnya tertangkap oleh indera manusia. Kualitas
gestalt merupakan keseluruhan sebagai ciri khas kesatuan dari kualitas-kualitas
yang ada dalam objek bernilai.
Penilaian berasal dari
subjek terhadap objek yang bernilai. Subjek yang melakukan penilaian pada
dasarnya melakukan upaya penerapan konsep ukuran atas objek yang bernilai.
Susunan hierarkhi nilai berbeda dengan klasifikasi nilai. Hierarkhi nilai
disusun berdasarkan urutan nilai kepentingan, sehingga dapat dibuat tabel nilai
yang sesuai. Hierarkhi ditentukan oleh preferensi seseorang terhadap suatu
objek yang berdasarkan penilaian orang pada umumnya yang akan memilih atau
senang pada nilai yang lebih tinggi. Penyimpangan, ada kalanya seseorang
memilih nilai yang lebih rendah, karena suatu motivasi lain yang tidak langsung
menyangkut nilai.
Urutan hierarkhi merupakan
rangsangan bagi tindakan kreatif dan moral yang tinggi. Makna hidup yang
kreatif dan bermoral tinggi secara fundamental didasarkan atas penerimaan nilai
positif yang dilawankan dengan nilai negatif dan nilai yang lebih tinggi
dilawankan dengna nilai yang lebih rendah.
3.
Nilai
itu Objektif atau Subjektif?
Pertanyaan diatas adalah pertanyaan
yang sulit untuk mereduksi dengan istilah yang sederhana
sejumlah persoalan yang menarik perhatian aksiologi dewasa ini. Inti persoalan
tersebut adalah dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah objek itu
memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya
karena objek tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian
yang memberikan bilai kepada suatu objek, ataukah sebaliknya, kita mengalami
preferensi ini karena kenyataan bahwa objek tesebut memiliki nilai yang mendahului
dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai
terminologi yang lebih teknis dan tradisionalis:apakah nilai itu objektif atau
subjektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti
itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri agar
tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai itu “objektif” jika ia
tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu
“subjektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada
reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah nilai ini
bersifat psikis atau fisis.
Objek fisik memiliki kualitas yang di
sebut kualitas “primer” yang melekat di dalam objek itu sendiri; dilain pihak,
ada kualitas lain seperti misalnya sifat dapat di persepsikan sebagai kualitas
“sekunder” yang penilaiannya tergantung dari objek yang menilainya(subjek yang
melakukan pengamatan).
Pembicaraan hakikat nilai akan memunculkan pertanyaan
dapatkah semua nilai dikatakan memiliki ciri khas yang identik?.
Objektivisme nilai adalah
objektif karena eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tidak tergantung pada
subjek atau kesadaran yang menilai (mutlak, bersifat tetap, nilai berbeda
dengan kepentingan, nilai mendahului penilaian). Subjektivisme Nilai adalah
nilai tergantung kepada penilaian subjek atau kesadaran yang menilai, yaitu
tergantung pada reaksi yang melakukan penilaian (relative, berubah-ubah
tergantung subjek yang menilai, penilaian mendahului nilai, nilai sama dengan
penilaian).
Argumen subjektivisme: apabila
nilai itu objektif maka pendapat masing-masing individu pasti akan sampai pada
satu kesepatan tentang nilai. Kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari
menunjukkan bukti yang tidak selalu seragam. Subjektivisme mengatakan bahwa perbedaan
pendapat disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa masing-masing individu
mempunyai penilaian sendiri-sendiri.
Argumen objektivisme:
kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu. melainkan tergantung pada
kehidupan sehari-hari yang membuktikan bahwa pendapat orang yang berselera
rendah tidak akan mengurangi keindahan sebuah karya seni.
Subjektivisme menyatakan
karena kehendak itu bebas, menurut seleranya sendiri, maka akan kabur apabila
dihadapkan pada masalah etis, wajib, dan religi. Nilai diciptakan oleh subjek,
sehingga nilai disamakan dengan penilaian. Nilai yang disamakan dengan
penilaian berarti tidak mempunyai pedoman universal, sukar dicari patokan
umumnya, karena selera manusia berbeda-beda.
Objektivisme menyatakan
bahwa nilai dipandang lepas dari subjek, berarti tidak ada korelasi antara
subjek dan obek, sehingga nilai bersifat absolute. Penyataan yang meniadakan
hubungan antara nilai dan penilaian (baik:baik) mengambarkan bahwa nilai tidak
ada pengembanya sama sekali. Prinsip objektivisme apabila dikembangkan secara
murni memunculakan kesukaran, yaitu apabila dihadapkan pada hal-hal ynag
bersifat darurat.
Kelemahan subjektivisme: tidak
punya pedoman universal, sangat lemah untuk objek norma, adat dan hokum. Kelemahan
objektivisme: kurang cocok dengan keadaaan yang darurat, karena tidak bersifat
situasional.
4. Metodologis
Dua metodologi yang
memungkinkan untuk bisa menggali lebih dalam tentang nilai, yaitu empiris
apriori dan instuisi emosional. Teori pertama mengatakan apakah kita harus kita
harus menyesuaikan diri dengan pengalaman dan tinggal menuruti keputusannya?.
Eori kedua lebih mengedepankan tentang kemampuan yang membawa kita ke arah
keintiman esensi dan keyakinan kita tentang pengetahuan yang tidak dapat
dipertanyakan lagi.
5.
Bagaimana Memahami Nilai
Max scheller berpendapat
bahwa intelegensia itu buta terhadap nilai; ia tidak dapat memiliki semacam
hubungan langsung dengannya. Nilai itu menyatakan diri kepada kita melalui
intuisi emosional. Intuisi itu akurat dan tidak perlu mendasarkan dirinya pada
pengalaman yang mendahuluinya, dan juga tidak perlu mendasarkan dirinya pada
pengemban yang sesuai.
Pemahaman tidak pernah
bersifat definitif; berbagai pendekatan baru akan menimbulkan kejutan yang baru
pada diri kita. Dalam lingkup etika, segala sesuatu bersifat rumit. Karena
kejujuran prilaku atau ketidakadilan keputusan hakim, tidak Nampak jelas bagi
kita pada kesan yang pertama.
Dalam lingkup estetika, yang
didalamnya nya aspek emosional Nampak sangat menonjol, di sana tidak terjadi
kekurangan unsure intelektual yangmembentuk sebagian pemahaman kita. Jika
berangkat dari taraf estetik menuju taraf eis dan legal, hadirnya unsure
rasional tidak dapat ditolak. Dalam lingkup aksiologis, kegunaan intelektualitas
pada gilirannya sama sekali menyisihkan emosionalitas; kegunaan objek tidak
dapat dipahami tanpa konsep pendahuluan tentang tujuan yang harus dicapai, dan
cara yang harus digunakan untuk mencapainya.
No comments:
Post a Comment