Pages

Monday, September 8, 2014

PERMASALAHAN POKOK DALAM AKSIOLOGI


1.     Permasalahan Aksiologi dalam Kehidupan Sehari-hari

          Tidak ada diskusi atau perbedaan pendapat berkaitan dengan prilaku seseorang, keluwesan seorang gadis, keadilan sebuah hukuman, atau kelezatan makanan. Bila dua orang tidak sependapat mengenai makanan dan minuman yang nikmat atau tidak nikmat, dan mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan penyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal itu. Dan tidak ada seorang  pun yang mampu meyakinkan lawan bicaranya. Peribahasa latin mengatakan: selera tidak dapat diperdebatkan (de gustibus non disputandum). Peribahasa ini dapat mengakhiri sebuah argumen, baik yang biasa maupun yang berat, namun tidak menyelesaikan persoalan yang mendasari diskusi tersebut.


          Orang yang mendukung tesis ini ingin menunjukkan satu ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian pribadi. Betul, Kita tidak ingin melepaskan keintiman ini, karena jika kita melepaskannya, sebuah catatan yang penting mengenai kenikmatan estetik akan hilang. Bagaimana seseorang dapat meyakinkan kita dengan silogisme dan banyak kutipan yang disitir bila kenikmatan yang kita rasakan sedemikian tiba-tiba dan langsung sehingga tidak memungkinkan terjadinya kesalahan?.

Sekalipun demikian, jika seseorang bersembunyi dalam perlindungan dengan berpegang teguh pada subjekivis, dan berusaha untuk berkepala dingin sekalipun kenyataan hatinya tidak tenang, dia harus segera menemukan bahwa ajaran ini sama sekali tidak dapat memuaskan kita. Apa yang akan menjadi dunia etis dan estetis jika kita menerima subjektivitas selera, masing-masing di antara kita patuh pada cara melihat segala sesuatu yang kita miliki? Bagaimana kekacauan dapat dihindarkan jika tidak ada patokan nilai, norma prilaku? Estetika dan pendidikan moral akan menjadi mustahil, hidup santun tidak akan terpahami, penyesalan dosa akan nampak absurd. Konflik ini merupakan persoalan yang sangat mengelitik bagi aksiologi kontemporer.


2.     Hierarkhi Nilai

Objek bernilai dapat berupa hal yang materiil,immateriil dan non immaterial. Objek bernilai didalamnya terkandung kualitas primer, sekunder, dan tersier. Dikatakan primer apabila eksistensi objek terdiri panjang dan berat. Kualitas dasar tidak menambah atau member eksistensi. Dikatakan sekunder apabila adanya menyertai dan dapat ditagkap oleh panca indera. Dikatakan tersier apabila kualitas yang tidak riil dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera.

Ketiga kualitas tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, hal ini dinamakan Gestalt. Kualitas ini realitasnya tertangkap oleh indera manusia. Kualitas gestalt merupakan keseluruhan sebagai ciri khas kesatuan dari kualitas-kualitas yang ada dalam objek bernilai.

Penilaian berasal dari subjek terhadap objek yang bernilai. Subjek yang melakukan penilaian pada dasarnya melakukan upaya penerapan konsep ukuran atas objek yang bernilai. Susunan hierarkhi nilai berbeda dengan klasifikasi nilai. Hierarkhi nilai disusun berdasarkan urutan nilai kepentingan, sehingga dapat dibuat tabel nilai yang sesuai. Hierarkhi ditentukan oleh preferensi seseorang terhadap suatu objek yang berdasarkan penilaian orang pada umumnya yang akan memilih atau senang pada nilai yang lebih tinggi. Penyimpangan, ada kalanya seseorang memilih nilai yang lebih rendah, karena suatu motivasi lain yang tidak langsung menyangkut nilai.

Urutan hierarkhi merupakan rangsangan bagi tindakan kreatif dan moral yang tinggi. Makna hidup yang kreatif dan bermoral tinggi secara fundamental didasarkan atas penerimaan nilai positif yang dilawankan dengan nilai negatif dan nilai yang lebih tinggi dilawankan dengna nilai yang lebih rendah.
         
3.     Nilai itu Objektif atau Subjektif?
         
Pertanyaan diatas adalah pertanyaan yang sulit untuk mereduksi dengan istilah yang sederhana sejumlah persoalan yang menarik perhatian aksiologi dewasa ini. Inti persoalan tersebut adalah dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena objek tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan bilai kepada suatu objek, ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena kenyataan bahwa objek tesebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan tradisionalis:apakah nilai itu objektif atau subjektif?

          Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai itu “objektif” jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu “subjektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah nilai ini bersifat psikis atau fisis.

Objek fisik memiliki kualitas yang di sebut kualitas “primer” yang melekat di dalam objek itu sendiri; dilain pihak, ada kualitas lain seperti misalnya sifat dapat di persepsikan sebagai kualitas “sekunder” yang penilaiannya tergantung dari objek yang menilainya(subjek yang melakukan pengamatan).

Pembicaraan  hakikat nilai akan memunculkan pertanyaan dapatkah semua nilai dikatakan memiliki ciri khas yang identik?.  
         
Objektivisme nilai adalah objektif karena eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai (mutlak, bersifat tetap, nilai berbeda dengan kepentingan, nilai mendahului penilaian). Subjektivisme Nilai adalah nilai tergantung kepada penilaian subjek atau kesadaran yang menilai, yaitu tergantung pada reaksi yang melakukan penilaian (relative, berubah-ubah tergantung subjek yang menilai, penilaian mendahului nilai, nilai sama dengan penilaian).
         
Argumen subjektivisme: apabila nilai itu objektif maka pendapat masing-masing individu pasti akan sampai pada satu kesepatan tentang nilai. Kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bukti yang tidak selalu seragam. Subjektivisme mengatakan bahwa perbedaan pendapat disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa masing-masing individu mempunyai penilaian sendiri-sendiri.
         
Argumen objektivisme: kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu. melainkan tergantung pada kehidupan sehari-hari yang membuktikan bahwa pendapat orang yang berselera rendah tidak akan mengurangi keindahan sebuah karya seni.
         
Subjektivisme menyatakan karena kehendak itu bebas, menurut seleranya sendiri, maka akan kabur apabila dihadapkan pada masalah etis, wajib, dan religi. Nilai diciptakan oleh subjek, sehingga nilai disamakan dengan penilaian. Nilai yang disamakan dengan penilaian berarti tidak mempunyai pedoman universal, sukar dicari patokan umumnya, karena selera manusia berbeda-beda.
         
Objektivisme menyatakan bahwa nilai dipandang lepas dari subjek, berarti tidak ada korelasi antara subjek dan obek, sehingga nilai bersifat absolute. Penyataan yang meniadakan hubungan antara nilai dan penilaian (baik:baik) mengambarkan bahwa nilai tidak ada pengembanya sama sekali. Prinsip objektivisme apabila dikembangkan secara murni memunculakan kesukaran, yaitu apabila dihadapkan pada hal-hal ynag bersifat darurat.

Kelemahan subjektivisme: tidak punya pedoman universal, sangat lemah untuk objek norma, adat dan hokum. Kelemahan objektivisme: kurang cocok dengan keadaaan yang darurat, karena tidak bersifat situasional.
         
4.     Metodologis

Dua metodologi yang memungkinkan untuk bisa menggali lebih dalam tentang nilai, yaitu empiris apriori dan instuisi emosional. Teori pertama mengatakan apakah kita harus kita harus menyesuaikan diri dengan pengalaman dan tinggal menuruti keputusannya?. Eori kedua lebih mengedepankan tentang kemampuan yang membawa kita ke arah keintiman esensi dan keyakinan kita tentang pengetahuan yang tidak dapat dipertanyakan lagi.
5.     Bagaimana Memahami Nilai
         
Max scheller berpendapat bahwa intelegensia itu buta terhadap nilai; ia tidak dapat memiliki semacam hubungan langsung dengannya. Nilai itu menyatakan diri kepada kita melalui intuisi emosional. Intuisi itu akurat dan tidak perlu mendasarkan dirinya pada pengalaman yang mendahuluinya, dan juga tidak perlu mendasarkan dirinya pada pengemban yang sesuai.  
         
Pemahaman tidak pernah bersifat definitif; berbagai pendekatan baru akan menimbulkan kejutan yang baru pada diri kita. Dalam lingkup etika, segala sesuatu bersifat rumit. Karena kejujuran prilaku atau ketidakadilan keputusan hakim, tidak Nampak jelas bagi kita pada kesan yang pertama.
         
Dalam lingkup estetika, yang didalamnya nya aspek emosional Nampak sangat menonjol, di sana tidak terjadi kekurangan unsure intelektual yangmembentuk sebagian pemahaman kita. Jika berangkat dari taraf estetik menuju taraf eis dan legal, hadirnya unsure rasional tidak dapat ditolak. Dalam lingkup aksiologis, kegunaan intelektualitas pada gilirannya sama sekali menyisihkan emosionalitas; kegunaan objek tidak dapat dipahami tanpa konsep pendahuluan tentang tujuan yang harus dicapai, dan cara yang harus digunakan untuk mencapainya.
         
Sesuatu yang penting bagi orang yang ingin mengolah cabang filsafat ini adalah harus memahami arti, kedalaman, dan kerumitan cara untuk meninjau persoalan.                    

No comments:

Post a Comment