Pages

Friday, December 13, 2013

Mengupas Permasalahan Pelayanan Difabel

Pelayanan yang diberikan UGM terhadap mahasiswa difabel masih kurang merata. Keluhan pun muncul dari para difabel.

Gedung baru UGM seperti di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tampak berbeda dengan bangunan sekitarnya. Terlihat ramp di depan gedung dengan kemiringan yang telah diatur. Memasuki dalam gedung, terdapat lift yang memudahkan difabel untuk naik dan turun ke setiap lantainya. Di beberapa pintu toilet terdapat lambang orang memakai kursi roda. Itulah contoh gambaran fasilitas untuk difabel yang terdapat di gedung-gedung baru UGM. 
Semua mahasiswa termasuk difabel, harus tetap mendapatkan fasilitas yang dibutuhkan. ”Meskipun hanya satu difabel, mereka harus diberi fasilitas. Mereka mempunyai hak yang sama, sedikit atau banyak tidak menghalangi kita untuk membuat fasilitas difabel,” ujar Ir. Sudarmoko, M. Sc., Direktur Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset. UGM sendiri sedang gencar membangun fasilitas untuk difabel. Di sejumlah fakultas telah dibuat ramp, jalan miring dengan sudut kemiringan tertentu untuk pengguna kursi roda. Lift juga telah banyak didirikan untuk mempermudah akses difabel. Di beberapa fakultas juga telah tersedia toilet untuk pengguna kursi roda.  Begitu juga dengan markah untuk penyandang tuna netra yang telah menghiasi beberapa jalan di UGM. Di samping itu, di perpustakaan telah banyak buku yang ditulis dengan huruf braile. Hal tersebut tentu memudahkan penyandang tuna netra.
Keadaan itu tampak kontras dirasakan Zulhafis, mahasiswa komunikasi dan informasi Sekolah Vokasi. Zulhafis adalah salah satu difabel. Ia tidak bisa menikmati fasilitas lift karena gedung vokasi  bukan bangunan baru. Dia harus berjuang keras dengan kondisinya yang tuna daksa untuk sampai ke ruang kelasnya di lantai tiga tanpa bantuan lift. Padahal menurut Rivant, temannya, untuk berjalan sepuluh meter saja sudah menguras tenaganya. Maka dari itu tak jarang teman Zulhafis yang peduli membantu dengan membopongnya naik sampai lantai tiga.
Seharusnya UGM sejak dulu telah mempersiapkan segala fasilitas untuk difabel sebagai konsekuensi menerima mahasiswa difabel. Pasalnya, keberadaan lift, ramp, markah jalan tuna netra dan fasilitas difabel lain masih sangat terbatas jumlahnya. “UGM harus tidak segan menerima mahasiswa difabel, tetapi juga memfasilitasi. Menerima tanpa memfasilitasi sama juga bohong,” ungkap Mukhanif Yasin Yusuf selaku ketua UKM Peduli Difabel. Ia menambahkan bahwa UGM tidak membedakan mahasiswa difabel dengan mahasiswa normal yang berkuliah di UGM. Asalkan difabel lolos seleksi dan sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan, dia berhak diterima di UGM. Namun fasilitas yang kurang memadai membuat UGM terkesan setengah-setengah dalam menerima mahasiswa difabel.
Sebenarnya pembangunan fasilitas terus dikembangkan, tetapi pembangunan yang lamban membuat UGM berlarut-larut dalam masalah ini. Mukhanif mengeluhkan atas kurangnya perhatian terhadap isu difabel. UGM dianggap lamban dalam pengembangan fasilitas yang dibutuhkan difabel. “Jika dibandingkan dengan kampus lain seperti UIN Sunan Kalijaga atau Universitas Brawijaya, UGM jelas tertinggal dalam menanggapi isu difabel,” ujar Mukhanif. Ia menambahkan bahwa UGM dirasa belum siap bila dibandingkan kampus lain yang sudah lebih dulu menanggapi isu tentang difabel ini.  Pembangunan ramp misalnya, belum lama dilakukan pihak UGM, itupun hanya ada dibeberapa fakultas saja.
Di sisi lain pembuatan markah jalan tuna netra kurang begitu optimal. Markah yang ada belum bisa maksimal digunakan, karena proses pembuatan tata letaknya yang belum sempurna. “Pasalnya pembangunan markah jalan dibangun oleh manusia normal yang kurang bisa merasakan kebutuhan tuna netra,” tegas Soedarmoko. Begitu juga dengan pembangunan lift yang seharusnya ada untuk mempermudah akses penyandang tuna daksa terhalang oleh beberapa kendala.
Berberapa bangunan di UGM terkendala masalah cagar budaya. Misalnya di sekolah vokasi, pengadaan lift menjadi suatu hal yang sangat sulit diwujudkan. Mengingat wilayah sekip unit IV sebagai gedung cagar budaya yang harus dijaga sisi kehistorisannya. Menurut Mukhanif jika fasilitas fisik untuk tuna daksa berupa lift tidak bisa dibangun. Seharusnya fasilitas nonfisik berupa pemindahahan ruang perkuliahahan di lantai satu dapat dijadikan alternatif. Hal tersebut tentu saja mempermudah akses penyandang tuna daksa sampai ke ruang perkuliahannya .
Selain itu, pendataan mahasiswa difabel sendiri baru dilaksanakan pada 2013. “Sedangkan pendataan mahasiswa difabel angkatan 2012 ke atas sepenuhnya diserahkan pada UKM Peduli Difabel,” ujar Senawi. Mukhanif mengatakan bahwa pendataan terhadap mahasiswa difabel ini sangatlah penting. “Dengan data tersebut kami bisa mengadvokasikan mahasiswa difabel lebih mudah,” tutur Mukhanif. Ia menambahkan, pendataan yang diterapkan mulai 2013 ini merupakan desakan dari UKM Peduli Difabel.
Teguh Sudibyo, ST., MT., selaku dosen jurusan Teknik Pengelolaan dan Pemeliharaan Infrastruktur Sipil saat ditemui di Sekip unit IV vokasi mengatakan, “Untuk tempat yang mengacu pada cagar budaya, pembangunan memang sulit dikembangkan, mengingat sejarah bangunan tersebut. Tapi kami terus mengupayakan bagaimana fasilitas untuk difabel bisa terus dipenuhi,” ujar Teguh. Beliau juga menambahkan bahwa pemindahan kelas sebenarnya telah banyak dilakukan. “Namun kebijakan tersebut kembali pada bagian akademik masing-masing jurusan yang bertanggung jawab atas kebijakan pemindahan kelas tersebut,” kata Teguh.
Bagian akademik memberlakukan kebijakan untuk menyatukan perkuliahan mereka dengan mahasiswa nondifabel. “UGM memperlakukan kami sama dengan yang lainnya, sehingga tidak ada pengotak-ngotakan antara mahasiswa difabel dan nondifabel,” ujar Mukhanif. Dia juga menambahkan bahwa difabel hanya mempunyai cara yang berbeda dalam aktivitas tertentu. Misalnya untuk menerima materi, difabel tuna rungu membutuhkan fasilitas tambahan berupa microphone
Menurut Sudarmoko, UGM mempunyai tujuan tertentu untuk tidak memisahkan ruangan kuliah difabel dengan nondifabel. Tujuannya agar difabel terbiasa dan mudah berorganisasi, berkomunikasi dan bergaul dengan lingkungan awam. Dengan demikian mereka menjadi mahasiswa yang mempunyai soft skills yang baik. Selain itu dunia kerja yang akan mereka lalui setelah lulus sama beratnya yang dialami mahasiswa nondifabel. “Hal ini akan membiasakan mereka bersatu dengan yang lainnya. Saat berhadapan dengan pasar tenaga kerja, mereka tidak akan mendapatkan fasilitas khusus.” ujar Sudarmoko.

Sebenarnya para difabel memiliki keinginan yang tidak muluk-muluk. “Kami hanya menginginkan pihak UGM untuk memenuhi kebutuhan difabel sepenuhnya. Misalnya menyediakan fasilitas untuk difabel secara merata, karena kami merasa saat ini masih setengah-setengah,”pungkas Mukhanif. [Ahmad, Catur]

No comments:

Post a Comment